Lintasmerahputih.com (Lampung Timur) – Dengan Terjadinya 5 Oknum Anggota LSM yang diamankan di Mapolres Lampung Timur, beberapa para Aktivis memaparkan aturan yang seharusnya dilaksanakan Oknum Penegak hukum yang menangkap diduga bertindak hanya sepihak.
Beberapa Aktivis di Lampung timur, Memaparkan Penyuapan, Gratifikasi, Pemerasan?
Salah satu jenis korupsi adalah pemberian dari satu pihak ke pihak lainnya. pemberian ini dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu (1) penyuapan, (2) gratifikasi, dan (3) pemerasan.
Penyuapan adalah bentuk pemberian yang dilakukan oleh korporasi atau pihak swasta berupa pemberian barang, uang, janji, dan bentuk lainnya yang bertujuan memengaruhi pengambilan keputusan dari pihak penerima suap. Suap disertai dengan kesepakatan kedua belah pihak. Tindakan suap, baik yang dilakukan di dalam negri atau pun luar negeri, pada jam kerja atau pun di luar jam kerja, akan dipidana.
Di sisi lain, gratifikasi adalah segala bentuk pemberian, baik bernilai besar atau pun kecil. Gratifikasi dan uang suap umumnya sama-sama diinisiasi oleh pemberi. Akan tetapi, perbedaan mendasar antara kedua hal tersebut adalah tindakan gratifikasi tidak bersifat transaksional. Apabila tindakan suap dilakukan untuk memengaruhi keputusan penerima, gratifikasi dilakukan sebagai upaya āmencari perhatianā kepada pejabat dengan tujuan memengaruhi kebijakan dalam jangka panjang. Sebagian ahli bahkan berpendapat bahwa gratifikasi merupakan suap yang tertunda.
Sementara pemerasan adalah tindakan menyalahgunakan kekuasaan dengan memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya. Namun demikian, unsur āmemaksaā menjadi sangat penting untuk dibuktikan pada tindakan pidana ini karena sering dijadikan alasan bagi pihak pemberi sebagai dalih pemberian. Perbedaan mendasar antara penyuapan dan pemerasan adalah dari segi inisiator serta unsur pemaksaan antara pemberi dan penerima.
Peraturan terkait Penyuapan
Peraturan terkait korupsi sektor korporasi sebagai pelaku tindak pidana diatur dalam UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantas Tindak Pidana Korupsi. Pada UU No.20 tahun 2001 pasal 20 ayat 2, dinyatakan bahwa tindak pidana korupsi dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik sendiri maupun bersama-sama.
Pidana yang diberikan tidak hanya bagi penerima, tapi juga pemberi suap. Pidana untuk pemberi suap diatur dalam pasal 5 ayat 1 dan 2 UU No.20 tahun 2001. Pada pasal ini dijelaskan bahwa: pelaku suap dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) bagi setiap orang yang:
Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya; atau memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya.
Pidana terhadap penerima suap dijelaskan pada pasal 5 ayat 2 UU No.20 tahun 2001. Pada pasal ini dinyatakan bahwa; pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 ayat 1 huruf a atau huruf b, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 ayat 1.
Dalam rangka menindaklanjuti regulasi ini, diberlakukan Instruksi Presiden (Inpres) tentang Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Tahun 2016. Pada aksi 20 dinyatakan bahwa salah satu upaya untuk mencegah dan memberantas korupsi adalah dengan melakukan inisiasi upaya sertifikasi antikorupsi. Pencegahan Tindak Pidana Korupsi Penyuapan. Salah satu sistes yang dapat diterapkan dan disertifikasi dalam rangka mencegah tindakan penyuapan adalah membantu organisasi mencegah, melaporkan, maupun menyelesaikan kasus penyuapan. Sistem ini dirancang untuk menumbuhkan budaya antisuap pada suatu organisasi dan meningkatkan peluang untuk mendeteksi upaya-upaya insiden penyuapan dari awal. Sistem manajemen ini bersifat fleksibel sehingga dapat diterapkan pada berbagai jenis organisasi, perusahaan, lembaga, ataupun institusi.
sebagai berikut.
Membentuk dan membina komitmen manajemen, Menunjuk pengawas anti-penyuapan, Menilai risiko suap untuk seluruh aktivitas, Menetapkan dan mewujudkan kebijakan, prosedur, ataupun kontrol lainnya berdasarkan risiko suap yang mungkin terjadi, Melakukan peningkatan kesadaran bagi semua pihak terkait, Melaporkan, memantau, dan menginvestigasi implementasi sistem manajemen antisuap serta menginvestigasi kasus suap yang terjadi, Melakukan tindakan korektif dan peningkatan berkelanjutan.
Penerapan tersebut akan membantu organisasi dalam meningkatkan pengendalian terhadap salah satu tindakan korupsi. Implementasi sistem ini juga memberikan kepercayaan terhadap seluruh pihak berkepentingan organisasi, baik manajemen, pemilik, pelanggan, dan rekan bisnis, bahwa organisasi telah melaksanakan praktik pengendalian antisuap yang baik dan telah diakui secara internasional. Apabila suatu saat terjadi penyelidikan kasus penyuapan dalam organisasi, penerapan sistem ini juga akan memberikan bukti kepada jaksa maupun pengadilan bahwa organisasi telah mengambil langkah-langkah dalam upaya pencegahan penyuapan.
Pidana Korupsi, dikualifikasikan sebagai tindak pidana korupsi. Dalam hal ini dapat dikemukakan bahwa suap merupakan salah satu bentuk dari tindak pidana korupsi. Berikut ini tabel tentang pola korupsi di dunia pendidikan:
Apakah Para Oknum Kepala Sekolah Sudah melakukan seperti gambar dibawah ini
Beberapa Aktivis mengemukakan empat penyebab utama terjadinya korupsi
(termasuk di dalamnya Suap) di lingkungan pendidikan, yang meliputi:
1. Peran dan kewenangan Kepala Sekolah yang terlalu dominan, dalam arti bahwa semua kebijakan akademis maupun finansial, direncanakan dan dikelola oleh Kepala Sekolah.
2. Minimnya partisipasi masyarakat, yaitu bahwa masyarakat (orang tua siswa) tidak diajak membicarakan pengelolaan sekolah, melainkan mereka hanya dikumpulkan setiap tahun ajaran baru untuk menawar
besarnya dana yang dibebankan pada mereka.
3. Minimnya transparansi, yaitu kurangnya keterbukaan dalam pengelolaan keuangan sekolah.
4. Tidak adanya akuntabilitas, yaitu tidak adanya pertanggungjawaban mengenai penggunaan dana dari masyarakat, terutama orang tua siswa.
Pada level pengelolaan perguruan tinggi, dominasi kebijakan akademis maupun
finansial, tidak se dominan pada kepala sekolah, karena pada umumnya aspek
management suatu perguruan tinggi, sudah lebih maju dibandingkan dengan
aspek management sekolah. Sudah lazim bahwa di perguruan tinggi terdapat
beberapa wakil atau pembantu rektor/direktur, disertai dengan pembagian
kewenangan yang jelas serta kontrol yang efektif, yang dapat meminimalisir
terjadinya penyimpangan pengelolaan akademis maupun finansial.
Perihal minimnya partisipasi masyarakat dalam pengelolaan perguruan tinggi,
disebabkan karena belum adanya aturan yang baku serta rinci yang menjadi
rujukan bagi pelaksanaan menampung partisipasi masyarakat tersebut. Dalam
konteks ini, UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional,
sampai saat ini juga belum/tidak berhasil memberikan panduan seperti yang 6
diharapkan. Dalam pasal 4 ayat (6) UU Sisdiknas ditentukan bahwa pendidikan
diselenggarakan dengan memberdayakan semua komponen masyarakat melalui
peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan pendidikan.
Idealnya, dalam pasal 4 UU Sisdiknas tersebut juga dicantumkan ketentuan
tentang perlunya disusun peraturan pemerintah dan atau peraturan perundang-undangan lainnya yang tingkatnya lebih rendah, untuk menjabarkan lebih lanjut
tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan partisipasi masyarakat tersebut.
Kewajiban tentang perlunya disusun peraturan khusus mengenai partisipasi
masyarakat tersebut, ditegaskan kemudian dalam bab XV tentang partisipasi
masyarakat, tetapi sayangnya, peraturan tersebut hingga kini belum terbentuk.
Apabila dapat disepakati bahwa minimnya partisipasi masyarakat dalam
pengelolaan sekolah/pendidikan merupakan penyebab terjadinya suap dan atau korupsi di sekolah/pendidikan, maka pengaturan yang memadai tentang
tatacara dan ruang lingkup partisipasi masyarakat, yang seharusnya diamanatkan oleh Pasal 4 dan bab XV UU Sisdiknas, dapat merupakan solusi untuk meminimalisir terjadinya tindak pidana suap/korupsi di sekolah/pendidikan.
Kelemahan mendasar seperti terlihat dalam pasal 4 UU Sisdiknas sebagaimana tersebut di atas, ternyata diulangi lagi dalam pasal 8 UU Sisdiknas. Pasal 8 UU Sisdiknas yang secara khusus mengatur tentang hak dan kewajiban masyarakat, ternyata tidak memberikan panduan yang memadai tentang bagaimana partisipasi masyarakat harus dijalankan. Dalam pasal ini, hanya terdapat dua norma hukum yang sangat tidak memadai dalam memberikan panduan mengenai partisipasi masyarakat tersebut. Analog dengan pandangan sebagaimana penulis kemukakan dalam alinea di atas, seharusnya pasal 8 UU Sisdiknas diikuti dengan peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tingkatannya, yang mampu memberikan panduan rinci tentang partisipasi masyarakat di bidang pendidikan.
Perihal transparansi pengelolaan keuangan sekolah, UU Sisdiknas telah memberikan panduan umum,sebagaimana dicantumkan dalam pasal 48 yang menentukan bahwa pengelolaan dana pendidikan didasarkan pada prinsip keadilan, efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas publik. Pasal ini juga
menentukan bahwa perlu segera dibuat peraturan pemerintah sebagai pelaksanaan norma umum tentang prinsip-prinsip pengelolaan dana pendidikan tersebut, yang diharapkan mampu memberikan panduan yang lengkap tentangĀ pengelolaan dana pendidikan.
Apabila peraturan pemerintah tersebut telah ada, dan kemudian dijalankan secara benar, diharapkan bahwa pengelolaan dana
pendidikan dapat berjalan secara adil, efisien, transparan, dan akuntabel,
sehingga meminimalisir terjadinya suap dan atau korupsi di sekolah/pendidikan.
Langkah-langkah Penanganan
1. Langkah Preventif
(a) Pemberhentian Sementara.
Tindak pidana suap di dunia pendidikan, dapat melibatkan berbagai pihak,
antara lain pengelola sekolah/perguruan tinggi dan aparat/birokrat pemerintah
yang mengelola pendidikan.
Ade Irawan mengemukakan bahwa korupsi di dunia pendidikan meliputi empat level, yaitu level pertama, dengan pelaku guru; level ke dua, dengan pelaku kepala sekolah dengan dibantu komite sekolah dan dinas
pendidikan; level ke tiga, dengan pelaku dinas pendidikan; dan level ke empat,
dengan pelaku depdiknas. Yang dimaksud dengan korupsi/suap yang melibatkan
aparat/birokrat pemerintah adalah korupsi pada level ke dua, ke tiga, dan ke empat.
Dalam kaitannya dengan suap/korupsi yang melibatkan birokrat pemerintah, instrumen pemberhentian sementara dari jabatan, dapat dipandang sebagai langkah preventif maupun langkah kuratif. Akan merupakan langkah preventif apabila dikedepankan efek jera yang ditimbulkan dari instrument tersebut bagi aparat pemerintah lainnya, sehingga aparat lainnya mempunyai rasa takut untuk melakukan tindak pidana korupsi/suap. Apabila tidak dikedepankan efek jera yang ditimbulkannya, maka instrumen pemberhentian sementara tersebut merupakan langkah kuratif.
Instrumen pemberhentian sementara ini, merupakan inovasi dari berbagai macam sanksi yang dikenal dalam PP (Peraturan Pemerintah No. 30 Tahun 1980, tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil. Di dalam PP No. 30/1980, dikenal berbagai macam pemberhentian pegawai negeri sipil, antara lain pemberhentian atas permintaan sendiri, pemberhentian karena
penyederhanaan organisasi,pemberhentian karena melakukan pelanggaran/tindak pidana, dan lain-lainnya.
Dalam rangka melaksanakan Ketetapan MPR (TAP-MPR) No. XI/MPR/1998 dan UU No. 28/1999 (keduanya merupakan aturan tentang penyelenggara negara yang bersih dan bebas dari KKN), pemberhentian
sementara dari jabatan publik bagi si-penyelenggara negara, apabila yang
bersangkutan terindikasi menerima suap dan atau melakukan KKN dan atau
perbuatan pidana/tercela lainnya, sudah pantas dan selayaknya untuk dicoba
diterapkan dan atau diwacanakan. Dalam konteks ini, sangat diyakini bahwa
instrument pemberhentian sementara, dapat mempermudah proses hukum atas
dugaan penyelewengan yang dilakukannya (karena yang bersangkutan tidak lagi
full power dalam membangun sebuah rekayasa dan atau menghilangkan/merusak alat bukti dan barang bukti), dan dapat mempercepat
perwujudan penyelenggara negara yang bersih dan bebas dari KKN serta
perbuatan pidana/tercela lainnya.
Sifat sementara dari pemberhentian tersebut adalah sampai dengan ada
putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap atas perkara
tersebut. Sedangkan timing dari penerapan pemberhentian sementara tersebut
adalah sejak yang bersangkutan dinyatakan sebagai tersangka oleh penyidik.
Sifat sementara yang diberi makna demikian, dan timing yang tepat
dalam menjatuhkan sanksi berupa pemberhentian sementara tersebut, memberi justifikasi yang memadai bahwa pemberhentian sementara tersebut, tidak
bertentangan dengan asas praduga tidak bersalah. Asas ini juga tidak dilanggar, karena, apabila keputusan hakim yang sudah in kracht tersebut membebaskan tersangka/terdakwa, maka terdakwa secepatnya dikembalikan pada posisinya semula dan direhabilitasi nama baiknya.
Perlunya dicoba penerapan instrument pemberhentian sementara, disebabkan karena hingga kini instrument tersebut belum banyak yang mempergunakannya, padahal efektifitasnya cukup menjanjikan. Di sisi lain, instrument tersebut juga perlu terus diwacanakan/disosialisasikan, agar menjadi inherent dalam praktek penyelenggaraan negara, dan agar diakomodir dalam hukum positif.
Apabila Ada Oknum Kepala Sekolah yang tidak melaksanakan aturan yang diatas, kami Para Aktivis Lam-tim, minta Aparat Penegak Hukum Cepat tanggap dan secara tegas menindak Lanjuti apabila ada pemberitaan dan laporan mengenai dugaan yang dilakukan para Oknum Kep-sek Tersebut. (Para Aktivis Lampung Timur/Amuri).